Ada masa ketika cukup bagi seseorang untuk datang tepat waktu, menyelesaikan tugas, lalu pulang. Tidak banyak ditanya, tidak perlu banyak terlibat. Tapi masa itu sudah berlalu. Di dunia kerja hari ini, dunia yang terus bergerak, makin digital, dan makin menuntut rasa manusiawi membuat kita mulai sadar: hadir secara fisik tidak selalu berarti hadir secara utuh. Dan di situlah cerita tentang engagement dimulai. Engagement bukan cuma soal semangat. Bukan juga sekadar suka pada pekerjaan. Engagement adalah ketika seseorang hadir sepenuhnya dan seutuhnya. Hadir bersama pikiran, perasaan, dan tenaga terhubung penuh dengan pekerjaan yang ia lakukan. Ada rasa memiliki di sana. Ada energi yang tidak datang karena disuruh, tapi karena ia merasa ini penting, ini layak diperjuangkan. Istilah ini bukan tanpa akar. Di dunia psikologi organisasi, konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh William Kahn (1990), yang menggambarkan engagement sebagai kondisi ketika seseorang merasa aman, berarti, dan memiliki ruang untuk mengekspresikan dirinya secara utuh di tempat kerja. Bertahun-tahun kemudian, Schaufeli dan rekan-rekannya mengembangkan pemahaman ini melalui tiga dimensi utama: vigor (semangat dan energi), dedication (kebanggaan dan antusiasme), dan absorption (keterlibatan total dalam pekerjaan) (Schaufeli et al., 2006). Tapi di luar definisi ilmiah itu, kita semua tahu: engagement terasa ketika kita bangun pagi dan benar-benar ingin memulai hari. Dan sekarang, isu ini muncul ke permukaan bukan karena tren, tapi karena gejalanya mulai tak bisa diabaikan. Kita melihat kolega yang dulu penuh inisiatif, kini pasif. Rapat-rapat yang dulu hidup, kini hanya rutinitas. Tim yang hadir, tapi tak lagi menyala. Engagement, dalam banyak organisasi, sedang menghilang. Bukan karena orang tidak mampu, tetapi karena banyak yang merasa tidak lagi punya alasan untuk sepenuhnya terlibat. Fenomena ini terasa makin jelas setelah pandemi. Ketika kantor berubah menjadi layar, dan interaksi menjadi serangkaian notifikasi, banyak yang mulai mempertanyakan: Apakah aku masih bagain dari tim? Apakah aku masih dibutuhkan? Engagement terbukti bukan soal lokasi, tapi soal relasi. Apakah seseorang merasa dipercaya, didengar, dan dianggap penting. Tanpa itu, pekerjaan berubah menjadi kewajiban, bukan pilihan. Data dari Gallup (2024) memperkuat hal ini. Selama lima tahun terakhir, proporsi karyawan Indonesia yang merasa engaged sekalipun mulai merangkat naik dari 22,28% menjadi 26,67% dan jumlah yang actively disengaged, yaitu mereka yang benar-benar merasa terputus dan negatif terhadap pekerjaannya turun dari 13,25% menjadi hanya 5,28%. Tapi ada satu angka yang tetap tinggi dan perlu dicermati: hampir 68% karyawan Indonesia masuk kategori not engaged. Mereka hadir, tapi tidak sepenuhnya menyala. Itu artinya mayoritas bekerja dalam mode “setengah nyala”. Mereka tidak menolak, tapi juga tidak mencintai. Dan ini bukan hanya soal motivasi. Ini soal makna. Karyawan hari ini tidak sekadar mencari penghasilan. Mereka mencari tempat yang memberi arti. Studi oleh Larasati, Hasanati, dan Istiqomah (2019) menunjukkan bahwa keseimbangan hidup dan keterlibatan emosional memiliki peran penting dalam membentuk engagement, khususnya pada generasi milenial yang sangat menghargai relasi dan pengakuan atas keberadaan mereka.
Yang paling menyentuh dari semua ini adalah kenyataan sehari-hari. Seorang manajer berkata, “tim saya hadir, tapi rasanya kosong.” Seorang karyawan berkata, “saya sibuk, tapi sudah tidak merasa terhubung.” Seorang HR bertanya-tanya, “kami sudah punya sistem, tapi kenapa tidak terasa hidup?” Jawabannya mungkin sederhana: engagement bukan soal sistem. Ia soal manusia, dan relasi yang mereka bangun. Keterlibatan bukan hanya soal angka, skor atau indeks. Keterlibatan adalah kebutuhan nyata bagi organisasi. Organisasi yang bertahan bukan yang paling pintar membuat aturan, tapi yang paling peka terhadap manusianya. Di dunia kerja yang berubah cepat, engagement bukan pelengkap—ia adalah jangkar. Tanpa itu, semua target, strategi, dan sistem hanya akan menjadi rutinitas tanpa jiwa. Jakarta, 15 Juni 2025 Eka Junis Setyawan Referensi
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
July 2025
Categories |